Berebut Etalase DKI - Kolom Karim Suryadi

Berebut Etalase DKI - Kolom Karim Suryadi

  PEMILIHAN gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta 2017 diliput media secara intens. Sejak dua bulan terakhir, manuver elite partai politik (parpol) dan tokoh yang dinilai potensial maju sebagai calon gubernur telah menjadi agenda media yang penting. Puncaknya saat batas akhir pendaftaran bakal calon tiba. Realitas yang tersaji amat berbeda dengan peta politik yang telah lama dibangun survei. Tokoh-tokoh yang dipopulerkan polling rontok. Konfigurasi politik yang dikonsolidasikan lewat reshuffle kabinet kedua pun berantakan.

Semua media cetak menempatkan prosesi pencalonan gubernur/wakil gubernur DKI Jakarta sebagai headline. Siaran televisi nasional pun menyuguhkannya dalam prime times. Mengapa pemilihan gubernur DKI Jakarta dianggap penting melebihi pemilihan kepala daerah mana pun di tanah air?

Selain faktor geografis dan lingkungan politis Jakarta sebagai pusat epicentrum politik nasional, labeling yang melekatkan pemilihan gubernur DKI Jakarta sebagai gambaran pemilihan presiden 2019 telah mengatrol kesan politisnya. Labeling dimaksud, telah menutupi anomali "keterasingan" kader di tengah hiruk-pikuk pilkada DKI Jakarta.

Sebuah koran nasional terbitan Sabtu 24 September 2016 menurunkan headline dengan judul "Pilkada DKI Gambaran Pilpres". Berita yang disertai foto pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang mendaftar pada hari terakhir masa pendaftaran Gubernur DKI Jakarta menegaskan dua hal berikut.

Kesatu, alih-alih merefleksikan sisa pertarungan pada Pemilihan Presiden 2014, atau rivalitas pertarungan politik tiga keluarga, munculnya tiga pasang calon Gubernur DKI Jakarta yang dipandang sebagai gambaran kekuatan pada pilpres 2019 lebih merupakan sisa-sisa "Jokowi’s Way". Sukses Jokowi merengkuh jabatan politik tertinggi setelah memenangi kontestasi pilgub DKI Jakarta telah menjadi sebuah "Cleopatra nose" tentang hubungan pilkada DKI Jakarta dan pilpres. Kaitan dua entitas politik ini (pilgub DKI Jakarta dan pilpres), tak ubahnya hubungan Golden Globe Awards dan Academy Awards atau Piala Oscar dalam dunia sineas global.

Ada saatnya pemenang Golden Globe menjadi peraih Piala Oscar, namun dalam beberapa kali penyelenggaraan, kedua ajang bergengsi ini menampilkan hasil yang berbeda. Selain karena memiliki sistem penjurian yang berlainan, kedua ajang ini pun melibatkan "pemilih" yang berbeda. Golden Globe diberikan oleh kritikus film dan TV yang tergabung dalam Hollywood Foreign Press Association (HFPA). Pada perhelatan terakhir, jumlah mereka tidak lebih dari 90 orang. Sedangkan Piala Oscar melibatkan praktisi film dari berbagai generasi yang tergabung dalam Academy of Motion Pictures, Arts and Sciences (AMPAS), jumlah mereka mencapai 7.000 orang. Selain jumlahnya yang berbeda, pemilih Golden Globe tidak menjadi penilai dalam penganugrahan Piala Oscar.

Perbandingan jumlah juri di kedua ajang ini mirip dengan rasio jumlah pemilih dalam Pilgub DKI Jakarta dan pilpres. Mengacu data yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih di DKI Jakarta untuk Pilpres 2014 sebanyak 7 juta, sedangkan total jumlah pemilih pada Pilpres 2014 adalah 190 juta lebih. Sementara jumlah pemilih Pilgub DKI Jakarta 2017 ditaksir KPU mencapai 7,4 juta. Jumlah ini, kurang memadai digunakan sebagai prediktor perilaku pemilih dalam Pilpres 2019 yang diperkirakan akan mendekati angka 200 juta pemilih.

**

Jadi, hubungan antara Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres 2019 arbriter saja. Bila pilkada DKI Jakarta dianggap sebagai gambaran peta kekuatan politik pada Pilpres 2019, itu terjadi karena label rasional dan kritis yang dilekatkan kepada pemilih DKI Jakarta, disamping karena kemenonjolan dalam peliputan, dan sentralitas Jakarta sebagai pusat epicentrum politik nasional.

Kedua, selain sisa-sisa efek "Jokowi’s Way" kemenonjolan pilgub DKI Jakarta lebih karena mindset yang menempatkan orang-orang hebat di daerah baru akan diakui bila sudah muncul pada panggung nasional. Di banyak negara, gubernur menjadi presiden bukan fenomena luar biasa, namun mereka tidak pernah menganggap menjadi gubernur ibu kota sebagai hipotek penjamin sukses dalam pilpres. Calon presiden bisa datang dari provinsi atau negara bagian mana pun, namun "legacy" kepemimpinan dan kinerja sang gubernur diakui secara nasional.

Apa yang terjadi dengan pilgub DKI Jakarta adalah representasi sentralisme politik Jakarta di tengah arus desentralisasi yang kian deras. Secara spesifik, sentralisasi yang terjadi terpusat pada tokoh-tokoh yang dinisbatkan sebagai ikon partai.

Terpilihnya Ahok-Djarot sebagai pasangan yang didukung PDIP sempat memunculkan penolakan dari sebagian elite dan massa partai, karena calon incumbent ini tidak pernah mengikuti mekanisme penjaringan calon yang diberlakukan PDIP. Namun, kedekatan Ahok dengan Ibu Mega, seperti yang dipertontonkan kepada publik dalam beragam acara, menepis kemungkinan partai pemenang pemilu ini mengusung sosok Risma, yang lebih kental ke-PDIP-annya, berkinerja bagus dan didukung secara luas, atau kader lain.

Terpilihnya Agus Harimurti Yudhoyono pun berproses menurut jalan yang tidak menapaki mekanisme kepartaian yang jelas. Ini seperti hasil dari sebuah operasi senyap. Boleh dibilang ini debut pertama Agus dalam arena politik, meski sebagai perwira tak mungkin buta politik.

Di negara lain, banyak veteran perang yang akhirnya terjun ke dunia politik, atau mereka yang cemerlang dalam karier militer, lalu "dipanggil" keadaan terlibat dalam kepemimpinan nasional. Apa yang menjadi alasan Agus terjun ke dunia politik sampai harus meninggalkan karier militernya masih dipertanyakan publik.

Demikian pula kehadiran Anies Baswedan sebagai calon yang diusung Gerindra dan Partai Keadilan Sejahter (PKS) tidak dihasilkan seleksi internal kepartaian secara terbuka. Meski bukan sosok yang asing dalam kancah politik nasional, Anies lebih dikenal sebagai politisi profesional yang tidak mengibarkan bendera partai.

Inilah anomali Pilgub DKI. Kiprah kader tulen partai tidak menonjol dalam kontestasi politik ibukota. Fenomena ini seakan menggenapkan gambaran “paceklik” kader yang didera partai ketika menghadapi pilkada di banyak daerah. Itulah sebabnya, jalur keluarga, keartisan, atau bisnis tetap dominan dibanding kaderisasi internal partai.

Bagi sebagian orang yang hanya melihat hasil, persolan ini mungkin tidak dianggap penting. Namun bila dibaca dari misi partai sebagai salah satu mesin pencetak kader pemimpin, gambaran pilgub DKI Jakarta tidak menggembirakan. Kesibukan pimpinan parpol menyeleksi calon tak ubahnya pengusaha yang berebut etalase bisnis di kawasan strategis. Bukan untuk memasarkan produk sendiri, melainkan hanya menawarkan hasil olahan "perusahaan" orang lain yang dilabeli merek partai. Sulit untuk tidak mengatakan, lebih banyak pimpinan partai dan elite politik yang menyukai kekuasaan namun tidak mencetak kader pemimpin.***

Karim Suryadi
Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat


advk

Contact Us

Name

Email *

Message *

Back To Top