Saya sadar banyak tulisan saya bernada kejam, bahkan bisa dikategorikan versi satire artikel kesehatan. Itu bukan tanpa maksud.
Terkadang memang untuk membangunkan orang, alunan musik lembut tidak mempan lagi. Satu orang kepala keluarga tidak bangun, seisi rumah kerap terkena dampaknya. Mulai dari sarapan yang hilang, anak tidak mandi ke sekolah dan orang lain di jalan kena damprat yang katanya biang kemacetan.
Belum lama ini saya diwawancara bagaimana membuat pizza sehat dan memastikan bahan bakunya tidak kedaluwarsa. Alih-alih menjawab, saya balik tanya, ”Emang orang Indonesia harus makan pizza?” Ketika disebutkan makan pizza adalah dampak globalisasi, saya balik tanya lagi, ”Lalu mengapa orang Italia tidak kenal karedok?”
Jujur, saya mencurigai istilah globalisasi atau apalah itu sebagai penghalusan dari ekspansi politik ekonomi pangan, yang begitu mulusnya menggelincir seperti hipnosis terselubung.
Dampaknya? Mengular, beriak seperti batu jatuh di atas air danau yang tadinya tenang. Betul juga. Salah seorang petinggi importir terigu mulai ambil ancang-ancang rekayasa genetika (biar sopan disebut riset pertanian), agar gandum yang aslinya hidup di subtropis mampu berakar gagah di negri tropis.
Sudah lama jantung saya mencelos tiap kali mendengar isu begini, bahkan keringat dingin sudah tak sanggup menetes.
Tubuh manusia bagian dari alam
Saya bukan penentang teknologi dan riset. Justru kebalikannya. Kekaguman tak henti melihat perangkat elektronik dan gawai berlomba loncat pagar mengatasi ruang dan waktu. Tapi, saya tidak kagum sama sekali, bila kehidupan yang beroperasi di hukum kodrat mulai diutak-atik.
Tuhan tidak bodoh menciptakan musim bahkan keragaman pangan sesuai musim dan letak lintang bumi.
Jauh sebelum Hipokrates mencanangkan sumpah dokter yang pertama, tubuh manusia dikenal oleh bangsa Tionghoa sebagai bagian dari alam, mengikuti hukum alam dan berespons dengan keadaan alam. Termasuk apa yang masuk ke dalam tubuhnya.
Jadi bukan suatu kebetulan, buah pun mempunyai musimnya. Dan saat musim itu datang, waktu yang sama tubuh manusia membutuhkannya.
Tapi keserakahan, kerakusan dan naluri kuasa rupanya lebih galak ketimbang arifnya suara hati berkata. Suara hati tidak pernah punya tempat untuk dirisetkan. Padahal, semua yang benar harus berasal dari kebaikan – begitu pula segala yang baik tentu harus benar.
Menuduh negara berkembang kekurangan pangan, salah satu perusahaan raksasa yang menamakan dirinya juru selamat kecukupan pangan dunia, mengepakkan sayapnya dengan bebas. Riset menjadi kata jitu. Produk transgenik pun mulai muncul mengalahkan alam, melintas musim.
Sebut saja di musim rambutan, duren pun turut tersedia. Manis harum seperti ukuran rasa yang diinginkan, berdaging tebal kuning merona. Tanpa cacat. Melampaui kesempurnaan alam ciptaan Tuhan yang justru banyak dicatat cacatnya.
Terlena produk transgenik
Namun riset berat sebelah rupanya menginjak, mengubur habis riset sisi satunya. Seperti suara rakyat kecil yang ditindas penguasa. Fenomena klasik.
Publik yang dasarnya hanya butuh diberi makan, mana mau tahu dengan istilah-istilah sulit. Bahwa apa yang dimakan nantinya menimbulkan penyakit, dianggap “biarlah Tuhan yang mengatasi”. Yang penting hari ini: Makan!
Seperti menutup mata dengan kacamata kuda, kita dengan nikmatnya mengunyah jagung yang super manis, wortel merah manyala, kedelai berbulir bulat – yang penampakannya saja jauh berbeda dengan milik nenek kita kurang dari 100 tahun yang lalu. Sebab, benihnya tidak sama.
Produk transgenik adalah ciptaan super tahan hama, tahan musim apa pun. Riset yang terinjak adalah yang membicarakan tentang glyphosate, yang berisiko sebagai penyebab kanker, gangguan hormon dan masalah reproduksi.
Kenyataannya sudah terdeteksi pada air seni 93% orang Amerika. Indonesia? Berapa sisa residu antibiotik dan suntikan hormon daging di pasar saja tidak terdata.
Yang lebih menarik, membiarkan para penguasa ekonomi pangan asing itu masuk dan meracuni cara berpikir cendekia kita bahkan ahli kesehatan. Semakin membutakan mata bahwa kita hidup di negri yang kaya.
Kaya karena apa yang kita punya
Begitu banyak kearifan dan sumber pangan lokal yang lolos dari ingatan. Lolos dari ajaran dan ajakan makan bagi anak-anak kita. Padahal, makanan itu disebut enak karena diajarkan dan dibiasakan.
Buat apa ribut memaksa gandum tumbuh di pulau Jawa, jika Tuhan telah memberi puluhan varian ubi, hingga talas, ganyong, kimpul, dan berderet sumber karbohidrat lain? Tawa saya langsung henti tersedak ketika ada teman menyela, ”Oh ya! Mi dan pizza bisa lho dibuat dari bahan umbi!” Ya Tuhan, dipaksakan lagi. Malu kah bangsa ini makan ubi rebus?
Saat saya mengajar mata kuliah ‘character building’ untuk subjek epistemologi Ketuhanan, selalu saya tekankan pertanyaan, ”Di atas semua hasil riset dan teknologi fantastis, mengapa Tuhan harus ada?”
Dari semua jawaban benar, hanya satu yang selalu saya peluk erat-erat: Adanya Tuhan, mengakui dan selaras dengan apa yang Tuhan ciptakan, maka menjadi jaminan umat manusia akan selalu ada, tak punah akibat ulahnya sendiri.
Teknologi fantastis tidaklah semestinya membuat manusia lupa diri, sementara secara ritual ia masih melakukan mekanisme ibadah.
Teknologi selalu ibaratnya pisau bermata dua. Mengatasnamakan demi masa depan yang lebih baik, tapi masa depan milik siapa?
Globalisasi tidak selayaknya membuat kita lupa sebagai orang Indonesia. Tidak semuanya harus sama dimana-mana.
Kita indah, karena kita punya apa yang mereka tidak punya. Biarkan Jepang punya onigiri, kita punya lemper. Yang tidak boleh dan tidak etis, bila anak kita bilang lemper atau arem-arem isi oncom itu kampungan dan onigiri keren.
Kita kaya karena apa yang kita punya, kita perkasakan menjadi hebat dan kuat. Orang Jawa tetap cantik berkebaya tanpa harus pakai rok mini. Karena, Tuhan tidak pernah menciptakan orang Jawa bermata biru